PENGERTIAN ISLAM
Pengertian
Islam secara umum adalah beribadah kepada Allah dengan syari’at-Nya sejak masa
Allah mengutus para Rasul hingga tegaknya hari kiamat. Pengertian Islam inilah
yang dimaksud oleh Allah dalam banyak ayat yang menunjukkan bahwa
syari’at-syari’at terdahulu semuanya juga disebut berislam kepada Allah ‘azza
wa jalla, seperti firman Allah yang menceritakan tentang Ibrahim (yang
artinya), “Wahai Rabb kami jadikanlah kami berdua orang yang muslim kepada-Mu
dan juga anak keturunan Kami sebagai umat yang muslim kepada-Mu.” (QS.
Al-Baqarah : 128).
Adapun Islam dalam
pengertian yang lebih khusus semenjak pengutusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah hanya mencakup agama yang dibawa oleh Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal itu disebabkan agama yang beliau ajarkan menjadi
penghapus seluruh agama terdahulu. Sehingga siapa saja (orang sesudah beliau)
yang mengikuti beliau menjadi orang muslim dan siapa saja yang menentang beliau
maka dia bukanlah muslim. Maka para pengikut rasul terdahulu adalah orang
muslim di masa rasul mereka. Orang Yahudi adalah kaum muslimin di masa Musa
‘alaihis salam. Begitu pula orang Nasrani adalah kaum muslimin di masa Isa
‘alaihis salam. Adapun ketika Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
diutus kemudian mereka mengingkari risalah beliau maka mereka bukan lagi kaum
muslimin.
Agama
Islam dalam pengertian inilah agama yang sekarang diterima di sisi Allah dan
akan bermanfaat bagi pemeluknya. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali-‘Imraan
: 19). Dan Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang mencari
agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia akan
termasuk golongan yang menderita kerugian.” (QS. Ali-‘Imraan : 85). Seperti
inilah keislaman yang dianugerahkan Allah kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam beserta umatnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada hari ini
Aku telah sempurnakan bagimu agamamu dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atasmu. Dan
Aku pun ridha Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maa’idah : 3). (Syarh
Tsalatsatil Ushul, hal. 20-21)
Islam mencakup 3 tingkatan
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam
wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jati dirinya oleh para sahabat yang
ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan.
Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah
meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rasulullah bertanya kepada
sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang
bertanya itu ?”. Maka Umar menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lah yang lebih tahu”.
Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada
kalian untuk mengajarkan agama kalian” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah mengatakan : Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil
bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq
Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3
tingkatan; Islam, iman dan ihsan.
Tingkatan Islam
Di
dalam hadits tersebut, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya
tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan (yang haq) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah,
engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa Romadhon dan berhaji ke
Baitullah jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu
Utsaimin menjelaskan : Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah
bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi
Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi
syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
Tingkatan Iman
Selanjutnya
Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman
kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir
dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”.
Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di
dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan : Diantara faedah yang bisa
dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi
apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam
ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan
dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah
satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti
dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan Aku telah ridho Islam menjadi
agama kalian” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan
iman.. (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
Tingkatan Ihsan
Nabi
juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya,
maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan : Diantara faedah
yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang
manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan,
seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan
ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa
mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu :
menyembah Allah dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa
siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya
maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya
seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” (Ta’liq Syarah
Arba’in hlm. 21).
Bagaimana mengkompromikan
ketiga istilah ini ?
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan yang maknanya, bila dibandingkan
dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari
substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang
sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila
ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari
orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di
dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa
dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih
istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain..(lihat At Tauhid li shoffil
awwal al ‘aali, Syaikh Shalih Fauzan, hlm. 63).
Oleh
karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min
pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu
tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan
lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya
sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna
walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga
statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang
sempurna. Sebagaimana Allah Ta’ala telah berfirman (yang artinya), “Orang-orang
Arab Badui itu mengatakan : Kami telah beriman. Katakanlah : Kalian belumlah
beriman tapi hendaklah kalian mengatakan : Kami telah berislam” (Al Hujuraat :
14). Dengan demikian, jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki
tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya.
Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu
adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan (At
Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 64).
Washallallahu
‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi
Rabbil ‘alamin. Selesai disusun ulang pada sore hari Ahad, 16 Dzulhijjah 1429 H
No comments:
Post a Comment